Visi jaringan sosial yang gagal
Eksperimen sosiologis “jejaring sosial” telah gagal dalam banyak hal.
Apa yang dulunya dimaksudkan sebagai platform untuk mempromosikan persahabatan, pertukaran dan komunitas kini telah berkembang menjadi jaringan periklanan yang luar biasa. Jaringan-jaringan ini, yang dulunya berpotensi memperkuat ikatan sosial antar manusia di seluruh dunia, kini dibentuk oleh periklanan dan algoritma manipulatif.
Permulaannya: persahabatan dan komunitas
Ketika Facebook didirikan pada awal tahun 2000-an, gagasan untuk menghubungkan orang-orang menjadi yang terdepan. Pengguna dapat berjejaring dengan teman, berbagi gambar, dan memposting pemikiran. Itu adalah tempat yang tidak berbahaya di mana interaksi pribadi lebih diutamakan. Platform-platform ini melambangkan harapan dan kemungkinan bahwa teknologi dapat mendekatkan manusia, terlepas dari hambatan geografis atau sosial.
Namun seiring dengan tumbuhnya jejaring sosial, kepentingan ekonomi para operator pun ikut tumbuh. Tujuan awal dari jaringan secara bertahap digantikan oleh mengejar keuntungan. Pengenalan algoritma yang tidak hanya mengurutkan konten tetapi juga secara khusus menarik perhatian pengguna telah mengubah dinamika secara mendasar.
Munculnya algoritma manipulatif
Saat ini, sulit untuk menyangkal bahwa algoritma telah mengambil alih jaringan sosial. Segala sesuatu yang dilakukan pengguna – baik itu suka, komentar, atau bahkan jumlah waktu yang mereka habiskan untuk sebuah postingan – memengaruhi konten yang muncul di feed. Di permukaan, ini mungkin tampak seperti pengalaman yang dipersonalisasi, namun sebenarnya memiliki tujuan yang berbeda: untuk mempertahankan pengguna di platform selama mungkin sehingga lebih banyak iklan dapat ditayangkan.
Algoritme ini juga memperkuat gelembung filter. Pengguna semakin dihadapkan dengan konten yang menegaskan pendapat mereka saat ini. Perbedaan pendapat atau perspektif kontroversial semakin jarang muncul. Perkembangan ini berbahaya karena tidak hanya membatasi wacana, namun juga dapat memperdalam perpecahan sosial. Kalimat “Tampilkan lebih sedikit ini” atau “Suka” yang tampaknya tidak berbahaya sudah cukup untuk memengaruhi algoritme dan membuat Anda terjebak lebih dalam lagi.
Dominasi periklanan
Poin penting lainnya adalah iklan yang ada di mana-mana. Meskipun jejaring sosial pada awalnya bebas iklan atau setidaknya bebas iklan, saat ini jejaring sosial dipenuhi dengan konten komersial. Periklanan bukan lagi sekadar aksesori, namun menjadi bagian penting dari pengalaman pengguna. Platform melacak setiap klik untuk menampilkan iklan yang dipersonalisasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas pengguna.
Namun, perkembangan ini ada harganya. Umpan tersebut, yang dulunya merupakan tempat untuk berbagi cerita pribadi dan momen autentik, kini dipenuhi dengan postingan bersponsor, yang sering kali disamarkan sebagai konten biasa. Menjadi semakin sulit bagi pengguna untuk membedakan antara iklan dan konten sebenarnya. Pencampuran ini tidak hanya merusak kepercayaan tetapi juga menyebabkan kelelahan platform.
Hilangnya keaslian
Meningkatnya komersialisasi jejaring sosial mempunyai dampak negatif lainnya: hilangnya keaslian. Di mana interaksi nyata dan postingan jujur pernah mendominasi, konten saat ini sering kali dibuat dengan algoritma dan mempertimbangkan jangkauan. Influencer dan merek mengandalkan postingan yang dioptimalkan yang dimaksudkan untuk mencapai tingkat keterlibatan maksimum. Komunikasi otentik digantikan oleh pemasaran strategis.
Perubahan ini juga berdampak pada penggunanya sendiri. Banyak orang merasakan tekanan untuk menampilkan kehidupan mereka dalam versi yang sempurna agar bisa menerima lebih banyak suka dan feedback positif. Perbandingan sosial semakin intensif, sering kali menimbulkan perasaan tidak mampu dan terisolasi secara sosial.
Jejaring sosial sebagai titik pengumpulan data
Salah satu aspek yang sering diremehkan adalah banyaknya pengumpulan data yang terjadi di balik layar jejaring sosial. Setiap suka, klik, dan interaksi memberikan informasi berharga tentang preferensi dan perilaku pengguna. Data ini tidak hanya digunakan untuk mempersonalisasi konten dan iklan, namun seringkali juga dijual kepada pihak ketiga. Pengguna menjadi produk dan datanya menjadi komoditas.
Risiko dari praktik ini bermacam-macam. Mulai dari pelanggaran data hingga kampanye pemilu yang manipulatif seperti Cambridge Analytica, dampaknya terhadap masyarakat sangat besar. Jejaring sosial telah menunjukkan betapa mudahnya mereka digunakan untuk mempengaruhi opini dan memanipulasi proses demokrasi.
Dampak psikologisnya
Perubahan penggunaan jejaring sosial juga mempunyai konsekuensi psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran iklan secara terus-menerus dan desain platform yang manipulatif dapat menyebabkan rangsangan berlebihan. Pengguna merasa semakin stres dan kelelahan. Kebutuhan untuk selalu online dan tidak ketinggalan apa pun (“takut ketinggalan”) juga berkontribusi terhadap perasaan tidak puas.
Algoritma juga mempromosikan budaya konfirmasi instan. Suka dan komentar menjadi ukuran pengakuan sosial. Mekanisme ini dapat membuat ketagihan dan berdampak negatif pada harga diri banyak pengguna, terutama kaum muda.
Apakah ada jalan kembali?
Pertanyaan apakah jejaring sosial dapat kembali ke tujuan semula sulit dijawab. Beberapa platform sedang bereksperimen dengan pendekatan baru, seperti membatasi iklan atau memperkenalkan feed kronologis. Namun tekanan ekonomi masih besar. Selama model bisnisnya berbasis periklanan, akan sulit melakukan perubahan mendasar.
Pendekatan yang menjanjikan adalah dengan mempromosikan jejaring sosial alternatif yang bercirikan transparansi, perlindungan data, dan model bebas iklan. Regulasi yang lebih kuat juga dapat membantu mengurangi dampak negatifnya. Inisiatif seperti Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) di Eropa merupakan langkah pertama menuju arah ini, namun masih banyak yang harus dilakukan.
Dari jaringan sosial hingga komersial
Tujuan awal dari jejaring sosial – untuk menghubungkan orang satu sama lain – telah terbelakang. Yang tersisa hanyalah sistem yang tujuan utamanya adalah memaksimalkan keuntungan. Algoritme periklanan dan manipulatif telah mengubah platform secara mendasar dan menjadikannya cerminan masyarakat konsumen.
Namun, masih ada harapan. Meningkatnya kritik terhadap praktik jaringan tersebut menunjukkan bahwa banyak pengguna yang menuntut pemikiran ulang. Masih harus dilihat apakah platform akan memenuhi tuntutan ini atau apakah alternatif baru akan muncul untuk menghidupkan kembali visi awal. Satu hal yang pasti: cara kita menggunakan jejaring sosial akan terus menjadi faktor penting dalam perkembangan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Cocok untuk: